Kamis, 22 Juli 2010

Seandainya Aku Warga Desa Sancang

0 komentar



Sumbangan Tulisan Oleh Guti Pinandhita ( NPM 220110070015 ), Fakultas Keperawatan UNPAD


Memasuki wilayah Sancang adalah pengalaman yang mendebarkan bagiku. Rasa cemas dan jantung berdebar tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama karena kondisi Sancang yang aku dapat dari browsing internet merupakan hutan dan rawa-rawa yang kelam dan mistik meskipun dikelilingi oleh pantai yang indah dan belum dijamah oleh orang banyak , dan kedua adalah fakta mengenai letak Sancang yang terpencil, jauh, dan bahkan teramat jauh dari pusat keramaian dan Sancang adalah ujung dari Garut bagian selatan yang mempertemukan dengan Kabupaten tasikmalaya. Fakta mengenai letak Sancang tersebut aku ketahui dari kegiatan survey yang dilakukan dalam rangka pengenalan lokasi KKNM Mahasiswa Unpad 2010.

Pada Kenyataanya, Sancang adalah sebuah desa yang berada di wilayah kecamatan Cibalong, Garut Selatan. Sancang terdiri dari 4 dusun dan 12 RW. Sekitar 42 % dari wilayah Sancang adalah perkebunan karet. Sehingga tidak heran mata pencaharian penduduknya mayoritas sebagai karyawan di perkebunan karet Mira Mare. Hawa yang hangat mengaliri permukaan kulit, berasal dari laut yang hanya terletak 5-60 meter dari permukaan yang bersuhu rata-rata 26’C. Tanah dusun ini dapat menyerap air dengan baik. Pohon pisang, sukun dan singkong tumbuh subur di dusun ini. Selain itu, tanah sancang juga dapat menyuburkan ribuan pohon karet, tidak heran jika Sancang dapat menjadi salah satu penyumbang bahan baku produk berbahan karet bagi negara.




Minggu pertama melaksanakan KKNM di Sancang adalah hari yang sangat tidak nyaman, hal ini terutama kesan mistik kampung ini begitu terasa, disamping letaknya yang sangat terpencil, tepatnya hampir di tepi selatan Pulau Jawa membuatku merasa terasing dan terisolasi dari peradaban. Masyarakat Sancang masih mempercayai kepercayaan tradisional seperti kepercayaan bahwa leweung Sancang ( hutan Sancang ) adalah hutan yang mengandung kekuatan goib, ataupun mengenai adanya siluman atau manusia harimau yang dianggap sebagai penjelmaan Prabu Siliwangi yang dianggap pernah hilang di hutan ini, yang sering berkeliaran di sekitar hutan ini. Di tempat ini terdapat pohon Kaboa (mirip dengan pohon bakau/Mangrove) yang menurut kepercayaan setempat merupakan penjelmaan para prajurit Pajajaran yang setia kepada Prabu Siliwangi. Namun di balik leweung Sancang yang terkenal mistik terdapat mutiara yang sangat indah yaitu pantai Sancang yang sangat eksotis inilah uniknya desa Sancang.



Akhirnya pada hari kedelapan dan seterusnya, aku menyadari bahwa kepercayaan tersebut hanya sekedar cara warga sepuh atau tetua desa Sancang untuk membuat generasi dibawahnya untuk tetap menjaga dan melestarikan lingkungan hutan Sancang tersebut dan sopan santun dalam bermasyarakat. Dengan adanya kepercayaan tersebut, masyarakat Sancang terbukti sangat menjaga keasrian lingkungan yang dikeramatkan karena takut para siluman penjaga hutan marah pada warga kampung, selain itu mereka juga sangat menjaga cara bertingkah laku dan bertutur kata karena takut takut dengan hal yang sama. Keramahan dan kejujuran warga dusun aku dapati saat aku dan rekan-rekan sesama peserta KKNM Unpad lainnya melakukan kunjungan ke warga-warga di kampung-kampung yang terdapat di wilayah Sancang.

Melihat kondisi lingkungan yang aku paparkan tadi, terpikir dalam benakku bahwa Sancang memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi desa yang maju dan makmur. Potensi tersebut muncul dari dua sector yakni perkebunan dan pariwisata. Ya, tanah Sancang yang berjenis tanah hitam adalah tanah yang kaya mineral yang sangat cocok ditanami pohon karet, disamping tanaman pangan yang juga didapati disini, seperti singkong , sukun dan pisang. Maka tidak heran jika wilayah Sancang memiliki perkebunan karet yang sangat luas yakni sekitar 3500hektar, bayangkan keuntungan yang bisa diraih dari pengelolaan kebun karet tersebut, hasilnya pasti akan memakmurkan desa sancang sekaligus menjadikan masyarakat desa Sancang sejahtera. Untuk sektor pariwisata, daerah pantai di pesisir desa Sancang wilayah berpendududk yang khas, serta hutan Sancang yang masih asri, kaya budaya dan beraroma mistis dapat menjadi “mutiara” yang mendatangkan keuntungan bagi warga. Misalnya saja, warga dapat beraktivitas sebagai penjaja makanan, pemandu wisata, pemilik hotel atau penginapan jika potensi pariwisata desa Sancang dioptimalkan.

Sayangnya, hal-hal diatas baru pemikiran saja dan masih jauh dari kenyataan Warga disini lebih banyak memilih untuk menjadi warga yang biasa saja, bekerja di perkebun karet. Dan sayangnya lagi perkebunan karet ini tidak dikelola secara mandiri oleh warga melainkan dimonopoli oleh perusahaan perkebunan bertaraf nasional, warga disini hampir seluruhnya hanya menjadi buruh perkebunan, adapun warga Sancang yang menjadi staff di perusahaan tersebut, tapi dapat dihitung jari dengan tangan kiri atau kanan kita. Penduduk yang berada dekat dengan Hutan Sancang dan daerah pesisir sendiri hanya bisa menjadi nelayan musiman, tanpa adanya inisiatif dan daya kreatif warga untuk dapat menjalankan usaha objek wisata di daerah desa dengan potensi berpenghasilan dari sektor pariwisata tersebut.

Apa yang sebenarnya terjadi memanglah ironis, dan hal ini berakar dari rendahnya tingkat pendidikan warga desa Sancang, yakni hampir seluruhnya berpendididkan SD sampai SMP dan rendahnya motivasi untuk belajar dan menggapai pendidikan. Melihat hal tersebut, dapat dimaklumi jika warga desa Sancang kurang memiliki bekal ilmu dan keberanian untuk membentuk sebuah usaha perkebunan karet maupun wisata. Selain itu, masalah kesehatan juga sangat nampak di desa ini dikarenakan sarana dan prasarana kesehatan yang kurang memadai, hanya terdapat 2 orang tenaga medis yaitu bidan dan mantra dan kondisi kesehatan lingkungan dan masyarakat di Desa Sancang tergolong kurang baik, serta Penerapan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) di Desa Sancang masih tergolong rendah.

Seandainya aku warga Desa Sancang, maka aku akan menjadi seorang warga desa yang menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi siapapun, tak terkecuali bagi warga desa ini. Aku akan menempuh pendidikan setinggi mungkin. Ilmu yang aku dapat di perguruan tinggi kemudian akan aku praktekkan di kampung halamanku. Aku akan mulai memandirikan usaha wisata pantai dan hutan Sancang, kemudian berbagi ilmu dengan warga lainnya mengenai cara berusaha yang baik dan benar dari system pemasaran hingga penjualan jasa wisata.

Andai aku warga Desa Sancang, saat usaha wisata mendatangkan keuntungan yang klimaks, aku akan melebarkan sayap usaha ke sektor perkebunan karet yang akan aku kelola secara mandiri dengan dibantu warga sekitar. Akan tetapi, aku tidak akan menguras tenaga para warga tersbut, melainkan juga membimbing dan berdiskusi kepada warga cara mendapat modal usaha dari bank untuk skala menengah hingga besar, mengelola perkebunan karet dan menjual hasil perkebunannya.

Yang paling utama dari semua itu, seandainya aku warga desa sancang, aku akan mendirikan sekolah gratis mulai dari SD-SMA dan SMK bagi penduduk usia sekolah. Untuk SMK aku akan mendirikan SMK dengan focus belajar pada perkebunan, pertanian dan pariwisata. Aku akan terus menumbuhkan motivasi generasi muda untuk bersekolah. Dengan pendirian sekolah gratis, warga akan termotivasi untuk mendapatkan bekal ilmu yang cukup untuk berusaha di bidang-bidang yang mereka inginkan untuk menjadi ladang usaha. Selain itu, bukan tidak mungkin niat mulia ini akan membuat warga semakin gencar untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi / universitas demi kehidupan yang lebih baik.

Dengan majunya pendidikan warga Sancang, aku yakin penduduk desa ini akan mendapatkan kesejahteraan yang cukup membahagiakan karena pendidikan adalah kunci kesuksesan seseorang. Saat segala sektor yang berpotensi mendatangkan kegiatan usaha dapat dijalankan secara mandiri dan optimal oleh warga, maka desa Sancang tidak akan lagi menjadi desa terpencil yang kurang dikenal melainkan desa kecil yang namanya harum terkenal ke segala sudut Pulau Jawa atau bahkan seluruh Indonesia. Desa Sancang akan menjadi milik warga seutuhnya, tidak lagi akan keterlibatan pengusaha dari luar desa Sancang jika kualitas dan kuantitas pendidikan sebuah kunci kesuksesan tersebut dapat terus ditingkatkan. Seiring majunya pendidikan, masalah kesehatan pun akan terselaikan. Aku bercita-cita untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan dan pola hidup bersih dan sehat sehingga tingkat kesehatan masyarakat sedikit demi sedikit akan meningkat, selain itu Aku akan memotivasi generasi muda agar bercita-cita menjadi tenaga medis sehingga mereka dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di kampung halaman mereka. Seiring dengan meningkatnya jumlah tenaga medis dan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, maka akses pelayanan kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat desa Sancang dengan mudah demi terciptanya masyarakat desa Sancang yang sehat dan sejahtera lahir dan bathin.

Senin, 14 Juni 2010

Seni Kriya dan Senapan Angin Khas Cipacing

0 komentar




Sumedang yang identik dengan tahu ternyata juga memiliki karya seni khas yang dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan, yakni seni seni kriya dan senapan angin. Penghasil kedua macam karya seni ini berpusat di desa Cipacing kecamatan Jatinangor, kabupaten Sumedang.Jika kita hendak menuju daerah Rancaekek, Bandung, maka kita akan melintasi Cipacing, perhatikanlah di kiri jalan menuju Rancaekek, terlihat pedagang senapan angin dan segelintir pedagang seni seni kriya yang berjejer sepanjang pinggir jalan raya ini.

Pedagang-pedagang tersebut mendapatkan barang kerajinan maupun senapan angin dari para pengrajin yang berada di wilayah Cipacing. “Biasanya kami membeli borongan dari pengrajin saat stok dagangan hampir habis,” jelas Pendi [32]. Menurut Pendi, pedagang seni kriya , pembeli kebanyakan datang dari luar kota seperti Jakarta dan Bandung, mereka membeli seni kriya untuk dijadikan oleh-oleh bagi sanak keluarga maupun untuk dikoleksi dan dijadikan pemanis ruangan.

Seni kriya Menembus Pasar Eropa

Misbah [30], adalah salah satu pengrajin seni kriya asli Cipacing, bersama sang kakak, Ujang Dingdong, Misbah mulai menekuni produksi seni kriya pada 1982. Mereka mencoba memasarkan hasil kerajinan ke toko-toko barang kesenian dan galeri seni di Cipacing dan wilayah sekitar Bandung. Beberapa jenis seni kriya ciptaan Misbah dan sang kakak antara lain berupa tanimar, wayang golek, marakas, panah tiup, gitar kecil, perkusi, dan topeng. Harganya bervariasi mulai dari lima ribu rupiah untuk panah tiup kecil hingga jutaan rupiah untuk patung-patung tanimar tertentu.


Seni kriya ciptaan mereka rupanya diminati banyak wisatawan, permintaan dari toko-toko dan galeri seni terus meningkat. Dituntut membuat lebih banyak lagi seni kriya, yakni hampir ratusan dalam sebulan, membuat mereka kewalahan dan tak sanggup lagi memenuhi permintaan konsumen dengan tenaga dua orang yang sangat terbatas. Hal tersebut membuat Misbah berinisiatif untuk merekrut karyawan.

“Saya melatih penduduk sekitar agar mampu menghasilkan barang kerajinan sesuai standar produksi,” jelas Misbah.




Tanimar, salah satu kreasi Misbah


Kini usaha Misbah dan Ujang Dingdong telah berkembang pesat dan tidak hanya mampu menghidupi keluarganya tapi juga penduduk sekitar rumahnya. Misbah dan kakaknya juga telah memiliki rumah produksi seni kriya yang mereka sebut “Seni Kreasi Cipacing”. Rumah produksi Kreasi Cipacing mempekerjakan 12 orang karyawan tetap dan puluhan pekerja tambahan, pekerja tambahan ini akan dikerahkan saat permintaan barang seni mencapai ribuan buah.

“Saat ada borongan dari pemesan dengan partai besar, biasanya kami memakai pekerja tambahan, mereka biasa mengerjakan produk pesanan di rumah masing-masing,” ungkap Misbah.


Misbah bersama seni kriya hasil karyanya


Produk Misbah kini tidak hanya milik Cipacing dan Bandung, melainkan telah mencapai kota-kota besar di pulau Jawa seperti Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta. Misbah juga telah memiliki sebuah galeri seni di Bali, yang dikelola oleh kerabatnya. Galeri di Bali inilah yang membuat seni kriya Cipacing dikenal hingga ke mancanegara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Amerika Serikat.

“ Kebanyakan permintaan ekspor datang dari Thailand dan Amerika,” terang Misbah.


Panah tiup, produk seni kriya rumah produksi Kreasi Cipacing

Senapan Angin yang Ingin Terus Eksis

Seni khas Cipacing lainnya adalah senapan angin. Inilah benda khas yang melekat dengan Cipacing. Tidak diketahui dengan pasti kapan awal ditemukannya senjata ini, namun yang pasti senjata angin Cipacing banyak diburu oleh para pehobi olahraga menembak. Senapan angin ini juga dapat digunakan untuk berburu hewan, biasanya babi hutan atau hanya sekedar pajangan untuk dikoleksi.

Pak Nanang [40] adalah seorang pengrajin sekaligus pemilik rumah produksi senapan angin Cipacing. Beliau mewarisi usaha kerajinan senapan angin yang telah didirikan oleh almarhum ayahnya sejak 15 tahun lalu, sang ayah pula yang mendidiknya cara memproduksi senapan angin. Rumah produksi atau bengkel senapannya mempekerjakan 10 orang karyawan terlatih.


Pak nanang tengah mengecek senapan angin yang baru dibuat


Suasana bengkel senapan angin milik Pak Nanang

Sama seperti seni kriya Cipacing, senapan angin Cipacing juga telah menembus pasar kota-kota besar di pulau Jawa, hingga Bali dan Sumatera, tetapi belum mencapai pasar luar negeri. “Pesanan dari Jakarta mencapai dua puluh pucuk, kalau Bali dan Lampung bisa pesan sepuluh sampai lima belas tiap bulan,” jelas Pak Nanang.

Untuk memenuhi kebutuhan pasar, Pak Nanang membuat berbagai jenis senapan angin dengan berbagai model dan harga yang bervariasi. “Saya membuat jenis mosser, air arm, rapid, kruger, bulpuk, hunting master, totalnya kurang lebih ada delapan jenis.” terang Pak Nanang. Mosser dan air arm adalah senapan yang paling diminati pembeli, dihargai satu juta per pucuk, sedangkan bulpuk seharga empat juta, adalah senapan termahal, yang biasanya diburu para kolektor senapan.

“Air arm enak untuk digunakannya, karena daya pegasnya pas, dan saat mengenai sasaran, tidak akan merusak daging buruan kita,” ucap Epul [28] seorang pemburu yang juga salah satu konsumen senapan angin karya Pak Nanang.


Proses Pembuatan Senapan Angin di Bengkel Milik Pak Nanang


Dibalik kesuksesannya, Pak Nanang belum puas dengan keberhasilannya memasarkan senapan angin Cipacing ke berbagai kota di Indonesia. Dia berharap masyarakat Jatinangor bisa lebih peduli terhadap pelestarian senapan angin Cipacing, sebagai sebuah hasil kebudayaan. Baginya senapan angin Cipacing harus tetap bertahan sebagai warisan budaya Jatinangor.
older post