
Sabtu [31/05] lalu, saya bersama seorang sahabat mengunjungi Puncak, Bogor, Jawa Barat. Hari itu Puncak lebih padat pengunjung dari biasanya, maklum sejak hari Jumat [30/05], yang merupakan hari raya Waisak, masyarakat Indonesia “diberkahi” libur beruntun.
Sejak dulu, Puncak memang selalu menjadi pilihan utama bagi para wisatawan domestik yang hendak berekreasi, mereka biasanya berdatangan dari Jakarta dan Bandung. Namun, saat libur panjang tiba seperti kemarin, wisatawan dari luar Jawa Barat dan luar pulau seringkali ikut berkunjung menikmati rekreasi di Puncak. Ada juga wisatawan asing yang turut meramaikan suasana liburan di Puncak, mereka biasanya datang dari negeri-negeri di Timur Tengah.
Hawa dingin dan kehijauan bukit di Puncak menjadi salah satu daya tarik yang memikat para wisatawan. “Di sini saya bisa merasakan ketenangan, hawanya bikin tenang, beda sama di Jakarta yang sumpek dan panas,” ujar Andre [26] salah seorang wisatawan. Ya, Puncak memang menjadi surga dunia bagi para penduduk perkotaan yang hendak berekreasi dengan menikmati alam pegununungan. Selain biaya liburan disana yang relatif murah, Puncak juga mudah untuk diakses. Tak heran, wilayah bekas perkebunan Belanda pada masa kolonial ini, menjadi mutiara daratan Jawa Barat.
Karena didominasi perkebunan teh yang berbukit-bukit, biasanya wisatawan melakukan tea walk saat berekreasi di Puncak, yakni berjalan mengitari kebun teh yang sangat luas itu. “Tea walk seru, soalnya sambil jalan-jalan kita bisa liat-liat gunung, kebun teh. Terus udaranya sejuk, jadi gak kerasa capek,” ujar Nita [25], wisatawan asal Bandung. Saya mencoba tea walk di perkebunan Gunung Mas 2, tiket masuknya hanya seribu lima ratus rupiah per orang ditambah tiket kendaraan, untuk motor sebesar lima ribu rupiah dan mobil sepuluh ribu rupiah.

Tea walk bersama teman.

Sepasang manusia tengah menyelusuri perkebunan teh di Puncak.
Saat memasuki gerbang masuk perkebunan ini, kita harus jalan menanjak untuk mencapai lokasi tea walk, jalanannya memang tidak mulus, masih berbatu-batu, tapi masih bisa dilalui mobil maupun motor. Perjalanan ini membutuhkan tenaga ekstra bagi wisatawan yang tidak memiliki kendaraan, namun tidak akan terasa melelahkan karena sepanjang jalan kita terus disuguhi kehijauan kebun teh yang asri, harumnya udara pegunungan, jejeran pohon pinus, kicauan burung yang menenangkan, dan kesejukan khas Puncak.

Hamparan hijau perkebunan teh dan pohon-pohon pinus.
Saat mencapai lokasi yang terletak di puncak bukit perkebunan, saya dibuat terkagum dengan pemandangan yang saya lihat. Di bukit yang cukup tinggi ini, kita akan melihat pemandangan yang menakjubkan. Puncak yang dilihat dari atas, seperti hamparan karpet hijau yang tersusun dari daun-daun teh, dihiasi dengan biru langit. Setelah puas melihat pemandangan, barulah saya memulai tea walk, “merenangi” hamparan kebun teh itu.

Pemandangan dari atas bukit perkebunan teh Gunung Mas 2.
Di atas bukit perkebunan teh Gunung Mas 2 kita juga dapat menikmati makanan dan minuman yang disajikan para penjualnya jika merasa lapar atau haus. Ada jagung manis bakar, yang sudah menjadi trade mark Puncak, kemudian mie bakso, soto mie, nasi goreng dan snack dalam kemasan.
Uniknya ada seorang pedagang sekoteng hangat yang berjualan dengan cara yang cukup cerdas. Ujang [35], pedagang sekoteng hangat tersebut berjualan di tepi bukit, kemudian dia menyediakan jejeran-jejeran kursi panjang bagi pembelinya bertuliskan, “yang duduk di kursi ini harus jajan sekoteng”. Memang dengan duduk di kursi tersebut kita bisa duduk santai sambil melihat pemandangan kebun teh, tapi kita juga harus membeli semangkuk sekoteng seharga lima ribu rupiah untuk dapat duduk disitu, jika tidak bisa-bisa kita ditegur si pedagang .

Ujang. Pedagang tepi bukit perkebunan teh.
“Maaf saya jualan disini, kalau mau duduk – duduk saja di situ silahkan cari tempat lain,” tegur Ujang kepada wisatawan yang hanya duduk tanpa membeli sekotengnya. Wisatawan tampak malu, ia celingukan mencari tempat duduk lain, tidak ada kursi yang ditemukan selain kursi panjang si pedagang sekoteng di tepi tebing pengamatan pemandangan yang strategis itu, akhirnya ia berdiri.
Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 17.30, saatnya bagi saya untuk bergegas pulang. Pesona alam Puncak telah membius saya dan pengunjung lainnya untuk kerasan berjam-jam di sana. Ada fenomena khas Puncak yang sempat saya rekam sebelum bergegas pulang. Kabut dari langit Puncak turun menyelimuti perbukitan hingga ke bangunan-bangunan di kawasan ini. Puncak sore itu berselimut kabut tebal, seolah menahan saya untuk lebih lama berdiam disana.

Kabut tebal menyelimuti Puncak di sore hari.
“Tiap sore memang seperti ini mas, kabut tebal turun, udara jadi lebih dingin,” ujar Dayat [20], petugas parkir di Gunung Mas 2.
Saya hanya tersenyum mengangguk mendengar penjelasannya. Suatu saat saya berjanji pada Puncak untuk kembali menemui lagi keelokannya. Lain kali pasti lebih lama lagi.
Detik-detik turunnya kabut tebal di Puncak








0 komentar:
Posting Komentar